Search

22.11.14

Tentara yang Ingin Pulang




Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, … berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.
Lukas 15:20

Sebelum seorang tentara yang usai perang pulang ke negara kelahirannya, ia menelepon orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia akan segera pulang, dan ia ingin membawa sahabatnya pulang bersamanya.  Namun sahabatnya terluka parah dalam pertempuran sehingga kehilangan satu tangan dan satu kaki.  Dengan rasa prihatin ayahnya berkata bahwa mereka tidak dapat membawa seseorang yang cacat seperti itu untuk tinggal bersama mereka karena dia hanya akan menambah kesulitan baru kepada keluarga mereka.  Sang Ayah juga berkata bahwa sahabatnya akan menemukan cara untuk menghidupi dirinya sediri.”
Setelah mendengar jawaban itu, dengan sedih si anak menggantung teleponnya.  Beberapa hari kemudian orang tuanya menerima telepon dari polisi  di tempat anaknya ditugaskan untuk berperang.  Anak mereka terjatuh dari sebuah gedung dan polisi mengidentifikasikan sebagai kasus bunuh diri.  Orang tua yang berdukacita tersebut segera berangkat ke tempat kejadian.  Mereka mengenali jenazah anaknya, tetapi mereka menemukan sesuatu yang belum mereka ketahui, anaknya hanya mempunyai satu tangan dan satui kaki.
          Seringkali kita juga menjadi orang tua yang tidak dapat mengerti keadaan anak-anak kita.  Keadaan mereka, baik fisik, mental, dan yang lainnya, membuat kita malu sebagai orang tuanya.  Namun mereka justru butuh dukungan dan kasih sayang dari orang tuanya.  Mereka butuh sebuah penerimaan dan pengertian.
          Tunjukkan kasih kita kepada mereka dengan belajar menerima mereka apa adanya.  Bagaimanapun, seorang anak adalah pemberian Tuhan.  Ampuni mereka jika mungkin mereka berbuat sebuah kesalahan.  Syukuri keadaan mereka dan tetap doakan mereka dengan kasih.  Karena dengan sebuah penerimaan membuat mereka merasa dihargai oleh keluarga yang mengasihinya.  Dengan begitu, kasih Kristus akan nyata dalam sebuah keluarga.

Kemah Suci di Hatiku

… kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan.
Ibrani 12:14

Saat Musa memimpin bangsa Israel menuju tanah Kanaan, mereka membangun sebuah kemah suci, yaitu kemah pertemuan Musa dengan Tuhan. Di atas kemah itulah, diam tiang awan dan tiang api sebagai tanda kehadiran Tuhan. Ketika kemah suci dipenuhi kemuliaan Tuhan, tidak ada satupun orang Israel yang berani mendekat apalagi masuk ke dalam. Jika mereka masuk, mereka pasti mati. Begitu pula ketika Bait Suci dibangun, hanya para imam yang dapat masuk ke ruangan Bait Suci untuk membakar ukupan bagi Tuhan, sementara umat Tuhan yang lain hanya dapat berkumpul di pelataran bait suci untuk mempersembahkan korban penebusan dosa.

Namun, ketika Allah mengutus anakNya yang tunggal ke dunia, kekudusan itu diberikan lewat penebusan dosa manusia di kayu salib. Setiap orang yang telah menerima Yesus sebagai Tuhan dalam hidupnya sudah dikuduskan oleh darahNya. Kita tidak perlu lagi mempersembahkan korban atau berpuasa ketika hendak bertemu dengan Tuhan. Kapanpun dan di manapun kita bisa datang kepada Tuhan. Mungkin karena itulah, banyak dari kita yang melupakan dan tidak menghargai kekudusan yang telah Tuhan berikan lewat karya penebusanNya di kayu salib. Karena begitu mudahnya kita meminta ampun atas dosa yang kita perbuat, kita justru melakukan dosa itu lagi. Kita tetap mencemarkan hidup kita dengan berbagai macam dosa dan hal-hal yang mendukakan hatiNya. Maka tak heran jika kehidupan rohani kita meredup hari demi hari. Karena Tuhan sudah tidak berkenan lagi atas hidup kita. Dia tidak dapat lagi tinggal di hati kita karena dosa-dosa yang kita lakukan. Oleh karena itu marilah kita tempatkan lagi kemah suciNya di hati kita, dengan menjaga kekudusan hidup kita, supaya Tuhan berkenan, hadir dan berkuasa atas hidup kita. Sebab tanpa kekudusan, Tuhan tidak dapat berkuasa atas hidup kita.

Kantung Air yang Bocor



… Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, … jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Roma 10:14

Apa jadinya jika sebuah kantong air diisi air terus menerus tanpa disalurkan ke kantong air yang lainnya?  Kantong air itu akan terisi sangat penuh air.  Ketika kantong itu tidak dapat menampungnya lagi, kantong air itu akan pecah dan bocor sehingga sedikit air saja yang masih tersisa di kantong tersebut.

Hidup kita bagaikan kantong air.  Tuhan telah memberikan kantong-kantong berkat kepada kita.  Ketika Tuhan mengisikan berkat-berkat materi maupun nonmateri ke dalam hidup kita.  Namun satu hal yang harus selalu kita ingat.  Berkat yang telah kita terima, bukan sepenuhnya milik kita.  Kita hanyalah penyalur berkat.  Oleh karena itulah, kita diberkati untuk memberkati orang lain juga.

Allah sangat menyayangi jiwa-jiwa.  Oleh karena itulah Dia relakan Yesus untuk menjadi juruselamat bagi jiwa-jiwa yang terhilang.  Karya Yesus di kayu salib memang sudah selesai.  Namun misi Allah untuk dunia ini belum selesai.  Dan Dia ingin kita melanjutkan karya Yesus di dunia.  Dia ingin agar kita dapat membawa jiwa-jiwa kepadaNya.  Masih banyak jiwa-jiwa yang berkekurangan, secara rohani, maupun jasmani (materi).  Kita dapat membagikan berkat yang telah kita terima untuk mereka.  Apa yang telah kita berikan untuk jiwa-jiwa yang terhilang adalah sebuah investasi kekal bagi kerajaan Allah.

Keadaan kita mungkin lebih baik dari mereka.  Namun pernahkah kita memikirkan pelayanan misi yang dilakukan oleh rekan-rekan seperjuangan kita?  Pernahkah kita berpikir untuk memberikan kontribusi bagi ladang misiNya?

Marilah kita evaluasi kembali diri kita masing-masing.  Apakah kita telah menjadi kantong air yang menyalurkan berkat bagi jiwa-jiwa?  Ataukah kantong air yang kita miliki adalah kantong air yang bocor?

Abdi Dalem Kerajaan Sorga

1 Petrus 2:9 Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib 

Jika Anda pernah mengunjungi Keraton Yogyakarta, Anda pasti akan menemukan beberapa orang yang berjalan berurutan seperti berbaris, menggunakan pakaian khas adat Jawa, tanpa menggunakan alas kaki. Itulah abdi dalem keraton, orang yang mengabdi kepada Raja Keraton Yogyakarta. Mereka dikenal mendapatkan imbalan kerja yang kecil, bahkan tidak sama sekali. Namun, ketika diwawancarai, mereka mengaku imbalan yang mereka dapat bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka.

Bukan harta yang mereka cari, namun ketenangan hidup. Mereka merasa puas bisa hidup sebagai abdi dalem, karena kehidupan yang tenang di dalam lingkungan keraton, tanpa konflik, dan mereka juga dianggap sebagai “manusia”, sesuai dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti, di mana manusia yang ada di dalam keraton (baik Raja maupun abdi dalem) harus hidup saling menyatu, saling membutuhkan, dan menghargai. Konsep ini juga menyatakan bahwa mereka harus hidup dalam suasana spiritualitas, berhati-hati dalam hidup, dan menjadikan Tuhan sebagai kontrol perilaku hidup mereka. Kesetiaan abdi dalem ini juga mereka nyatakan sebagai bentuk terimakasih mereka dapat hidup di atas tanah keraton. Dan kesetiaan ini mereka tunjukkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi.

Semua orang yang sudah diselamatkan pun, Tuhan panggil menjadi “abdi dalem” kerajaanNya, bukan dalam konteks sebagai hamba, namun dalam konteks pengabdian hidup kita kepada kerajaan Sorga. Setelah menerima kesalamatan, Tuhan ingin seluruh pusat kehidupan kita menjadi milik Allah, dan hidup kita mengabdi kepada nilai-nilai kebenaran. Bukan harta lagi yang menjadi tujuan utama kita, tapi kesetiaan kita kepada Tuhan.

Mengenai harta, Tuhan adalah yang empunya seluruh dunia ini, dan ketika kita mengutamakan Allah dalam kehidupan kita, otomatis kekayaanNya akan menjadi kekayaan kita juga sebagai pewaris janji kerajaan Allah. Bersediakah Anda menjadi abdi dalem kerajaan Sorga dan menyelesaikan visi Allah untuk menyelamatkan dunia ini melalui hidup Anda?

Lust Trainer

Galatia 5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

Bagi Anda yang memiliki anjing dan punya channel TV berlangganan di rumahnya, mungkin pernah menonton acara Cesar Milan. Ia adalah seorang pelatih anjing yang handal, yang sering dipanggil ke rumah-rumah untuk menaklukkan anjing dengan kasus yang berbeda-beda. Namun, dari semua kasus yang pernah saya tonton dalam acara tersebut, sebenarnya intinya satu, bagaimana menaklukkan anjing di bawah kekuasaan dan kontrol kita sebagai tuannya, sehingga mereka bisa tunduk di bawah perintah kita. Untuk melakukannya, anjing perlu dilatih untuk mengendalikan keinginan/ nafsu liar nya. Seringkali anjing tidak dapat tenang dalam menghadapi masalahnya: takut, cemas, tidak bisa duduk diam dengan tenang, terancam, atau apapun perasaannya. Dengan kehandalannya, Milan bisa melatih anjing yang “bermasalah”, dengan mengontrol keinginan/ nafsu liar nya, menjadi terkendali di bawah kuasa tuannya.

Jika anjing saja bisa dilatih, percayalah bahwa kita yang diciptakan dengan akal budi dan hikmat yang dari Tuhan juga bisa. Seringkali kita tidak bisa mengendalikan emosi negatif kita saat keadaan-keadaan tertentu: marah, gossip, sedih yang berlebihan, mengasihani diri sendiri, makan yang terlalu banyak, kalap saat belanja, atau bahkan melakukan tindakan kriminal seperti memperkosa, mencuri, membunuh, dan lain sebagainya. Satu-satunya cara untuk tidak melakukannya adalah ketika kita berhasil mengendalikan nafsu kita sendiri. Bagaimana caranya? Hiduplah di dalam kebenaran firmanNya setiap hari, itulah satu-satunya cara untuk menguatkan roh kita lebih dari kedagingan kita. Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Itu sebabnya kita perlu melatih roh kita sehingga kita bisa mengendalikan segala kedagingan kita (Ef 5:18).

Imitator Ulung

1 Yohanes 2:6 Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.

Anak saya saat ini berumur dua tahun dan dia sedang pintar-pintarnya meniru semua gerak gerik dan tingkah laku Papa dan Mamanya. Dari cara berpakaian, cara memakai sepatu, cara saya berdandan, hingga cara kami tertawa dan berbicara. Ternyata benar bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohonya. Anak adalah imitator ulung dari kebiasaan orang tuanya. Sekarang kami harus hati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah laku karena secara tidak sadar, ia merekam semuanya dalam otak kecilnya.

Lalu saya berpikir lebih jauh. Begitu juga dengan parenting style kami berdua sebagai orang tua. Secara tidak sadar, saya seperti apa yang Mama contohkan saat mendidik saya sewaktu kecil dulu. Begitu pula suami saya, meniru apa yang dilakukan Papanya saat mendidik dia dulu.

Dari dua pemikiran ini, saya mengambil satu garis lurus. Bahwa dengan siapa kita banyak meluangkan waktu kita, kita akan menjadi sama seperti orang itu, atau paling tidak, terpengaruh dalam hal pola pikir, sikap, maupun kebiasaan sehari-hari.

Begitu pula hubungan kita dengan Tuhan. Kita bisa melihat bagaimana kualitas hubungan seseorang dengan Tuhan dari cara hidupnya. Saya pun seringkali menganalisis kualitas hidup saya dari seberapa banyak waktu yang saya luangkan untuk bersekutu dengan Tuhan. Seringkali ketika terlalu banyak aktivitas yang sedang saya alami, saya seringkali mendapati diri saya mudah marah, gampang menyerah, seringkali mengeluh, dan membicarakan kejelekan orang lain dengan teman kantor. Semakin sering kita meluangkan waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, seharusnya semakin kita menjadi serupa dengan Tuhan dalam hal bertindak, bertutur kata, dan melakukan tindakan kasih bagi orang lain. Itulah yang Tuhan sebut sebagai buah-buah roh. Buah roh tidak jatuh jauh dari pohonnya, yaitu pokok anggur yang benar. Tinggalah di dalam Dia maka Dia akan tinggal di dalam (hidup) kita.

Tidak Melayani (di Gereja)




“Take your everyday, ordinary life – your sleeping, eating, going-to-work, and walking-around life – and place it before God as an offering.”
(Bawalah kehidupan sehari-harimu, yakni tidur, makan, pergi bekerja, dan berjalan-jalan, dan letakkan itu di hadapan Allah sebagai sebuah persembahan.)
Romans 12:1 The Message

Saya teringat ketika masih pacaran dulu.  Sepertinya saya bisa melakukan apa saja demi menyenangkan hati pacar saya tanpa harus diminta: membuatkan dia bekal saat dia melakukan perjalanan keluar kota, membelikannya barang yang saat itu ia sangat butuhkan, membantunya mengerjakan hal-hal dalam bidang yang kurang dia kuasai namun saya kuasai, dan hal-hal simple lainnya namun saya kerjakan dengan penuh sukacita, walaupun itu harus mengurangi waktu luang dan tenaga bahkan uang yang saya miliki.
Begitu juga halnya dengan pelayanan.  Kita bisa melayani di mana saja, sesuai dengan kehendakNya, di mana Ia menempatkan kita.  Bukan hanya di gereja tentu saja, karena melayani bukan hanya untuk para pendeta dan pengerja full timer.  Justru pelayanan terbaik kita terlihat bukan ketika kita ada di gereja, tetapi sewaktu kita ada di kehidupan kita sehari-hari.  Kita semua adalah pelayan Tuhan di profesinya masing-masing.  Dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik, kita perlu memberikan hati kita.  Di mana hati kita berada, di situ kita bisa memberikan yang terbaik.  Karena kita melakukannya bukan dengan rutinitas atau terpaksa, atau motivasi lain, melainkan dengan hati yang rela dan rindu untuk memberikan yang terbaik.
Tidak peduli bidang apapun yang kita kerjakan, entah itu pekerjaan yang besar atau kecil, yang terlihat atau tidak terlihat orang lain, yang berpenghasilan besar atau berpenghasilan kecil.  Karena motivasi utama kita hanyalah menyenangkan hati Tuhan.
Mari kita kembali pada esensi pelayanan, yaitu menyenangkan hati Allah, membuat Ia tersenyum atas apa yang sedang kita lakukan.  Apapun bidang yang kita kerjakan, itulah pelayanan kita.  Bagaimana selama ini kita mengerjakan pelayanan kita?  Sudahkah kita menyenangkan hati Allah?

TEMPAT PELAYANAN TERBAIK ADALAH DI MANA KITA PALING BANYAK MENGHABISKAN SEBAGIAN BESAR HIDUP KITA.

RESET



“yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
Efesus 4: 22-24

Saat saya sedang mengerjakan pekerjaan saya di komputer dan membuka begitu banyak program, seringkali komputer saya menjadi hang dan beberapa program menjadi not responding.  Dan ketika saya tidak sabar untuk menunggu komputer saya menyelesaikan process time nya, saya klik ini dan itu sehingga membuatnya menjadi bertambah parah.  Di ujung ketidaksabaran saya, biasanya saya akan menekan tombol reset pada CPU dan komputer saya akan memulai lagi dari awal dan berjalan normal kembali seperti sedia kala.
Seringkali saya merasa bahwa hidup saya berantakan.  Terlalu banyak dosa dan kesalahan yang saya lakukan, ditambah dengan masalah yang datang bertubi-tubi dan tekanan hidup yang begitu berat membuat saya stress dan rasanya ingin menekan tombol reset atau restart sehingga semuanya diulang lagi dari awal dan saya bisa memilih untuk bersikap lebih baik untuk menghadapi itu semua.
Sebenarnya, seperti kasih dan pengampunan Allah yang baru setiap pagi, Tuhan menyediakan fasilitas reset itu setiap hari dalam kehidupan kita.  Dengan menjumpaiNya dan merenungkan firmanNya setiap pagi, kita seolah me-reset semua kesalahan kita yang terjadi di masa lalu karena Tuhan sudah memaafkan dan melupakan segala dosa kita, dan kita belajar untuk memulai hidup yang baru setiap pagi.  Sama seperti pertobatan yang harus terus berlangsung setiap hari, begitulah tombol reset itu bekerja, sehingga kita diperbaharui dalam roh dan pikiran yang senantiasa baru setiap hari.
Kunci dari bagaimana kita bisa me-reset kehidupan kita setiap hari adalah dengan duduk di kakiNya, dan dengan rendah hati mengakui segala kesalahan kita dan dengan kesungguhan hati meminta Roh Kudus untuk membantu kita menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus setiap hari.

TOMBOL RESET ADALAH SEPERTI KESEMPATAN YANG TUHAN BERIKAN UNTUK SEBUAH HIDUP BARU YANG BERKEMENANGAN SETIAP HARI

Latah



Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.
Yakobus 2:22


Berapa banyak di antara kita yang sering kali menjadi latah untuk berkata “amin” saat orang lain mengucapkan doa atau kata-kata positif mengenai kehidupan masa depan kita, namun sebenarnya kita tidak sungguh-sungguh meng-amin-kannya dalam tingkah laku dan pola pikir sehari-hari kita?
Orang lumpuh yang terbaring 38 tahun lamanya di serambi kolam Betesda juga seperti itu.  Sebenarnya ia bukan tidak mau sembuh, namun ia selalu pesimis mengenai kehidupannya sehingga tidak ada usaha apapun yang dia lakukan untuk “mengejar” kesembuhan itu.
Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia.  Iman tanpa usaha dan hanya menunggu “keajaiban” terjadi dalam kehidupan kita juga adalah sia-sia.  Lihat di ayat 14 mengenai kata-kata Yesus saat bertemu kembali dengan si lumpuh: “Engkau telah sembuh, jangan berbuat dosa lagi.”.  Dosa apakah yang telah ia perbuat?  Pola pikir dan tingkah laku yang pesimis saat menghadapi suatu masalah.  Tuhan ingin kita beriman dan juga berhikmat, bagaimana agar kita tetap ada dalam pengharapan, meskipun keadaan yang kita alami saat ini semakin menuju kepada kemustahilan.
Iman selalu berhadapan dengan rentang waktu karena Tuhan ingin menguji seberarapa besar iman kita untuk tetap berpegang pada pengharapan kita.  Apakah kita menjadi lemah saat menghadapi kondisi yang tidak memungkinkan.  Iman adalah soal pengharapan kita, bukan tentang apa yang kita hadapi sesuai dengan kondisi yang saat itu kita hadapi.  Pengharapan kitalah yang membuat kita mengerjakan iman kita, bukan hanya menanti keajaiban dengan berpangku tangan, tetapi mengusahakannya.

IMAN ADALAH PERCAYA PENUH TERHADAP SESUATU YANG BELUM TERLIHAT DAN MENGUSAHAKANNYA DALAM PENGHARAPAN DAN HIKMAT ALLAH.