Search

5.2.18

Menikah Adalah Bunuh Diri

Mengutip pernyataan Joshua Iwan Wahyudi, saya sangat suka dengan quote ini: Menikah adalah bunuh diri.

Well.  Memang iya.

Satu hari setelah hari pernikahan berlalu, Anda akan mulai diperhadapkan dengan masalah-masalah yang harus dihadapi bersama dan bersepakat untuk mencari sebuah solusi bersama-bersama.  Saya katakan sebuah, karena hanya satu solusi yang akan muncul untuk satu masalah.  Untuk mengeluarkan yang hanya satu solusi ini, mungkin di dalamnya ada tukar pikiran, perbedaan cara pandang, dan adu argumen karena masing-masing memiliki pola pikir dan sikap menghadapi masalah yang berbeda-beda.  Wajar saja, karena masing-masing diasuh dengan cara dan latar belakang yang berbeda.

Kenapa saya bilang bunuh diri?  Karena memang benar-benar harus membunuh "diri sendiri".  Ga bisa lagi ngotot "saya yang benar dan kamu yang salah.".  Ga bisa lagi "pokoknya gua kaya gini, lu harus ngertiin gua."  Ga bisa jua "ini urusan gua, lu tau apa?", atau "ini uang gua, ga usa ikut campur".  Atau bahkan, "lu egois banget ya, ga ngertiin perasaan gua.".  Karena ketika kita bilang "kamu egois", berarti sesungguhnya kamu juga egois dan menuntut lebih.

Setelah menikah, kita harus belajar menunkan ego dan keinginan kita, tidak lagi menuntut hak kita untuk dipenuhi, tapi sebaliknya, belajar memberi dan melayani pasangan kita, karena itulah kasih yang sesungguhnya.  Kasih bukan bicara soal romantisme, hadiah-hadiah, dan kejutan-kejutan manis seperti masa pacaran.  Kasih bicara jauh lebih dalam dari itu.

Menikah itu harus siap disakitin kapan aja, tapi juga siap memberi pengampunan kapan aja.  Terus mencintai pasangan kita sampai kapanpun, meskipun di saat yang bersamaan, setiap hari makin keliatan belangnya kaya apa. 

Kalo liat pasangan lain selalu lebih romantis dan keluarganya harmonis, saya percaya ada sebuah effort yang besar di dalamnya dari kedua belah pihak.  Hubungan pernikahan itu ga bisa diantepin gitu doang terus jadi harmonis sendiri.  Perlu diusahain sampai akhirnya jadi kaya gitu.  Kehidupan pernikahan itu hasil kerja tim.  Masing-masing punya peran sendiri-sendiri.  Tapi bukan berarti kalau perannya ga jalan, lalu saling menuntut dan menyalahkan.  Balik lagi, masing-masing harus terus support dan tetap mengasihi pasangannya.

Apalagi setelah ada anak-anak.  Hubungan pernikahan adalah ujian berikutnya.  Di mana kita harus benar-benar satu visi dan di depan mereka menunjukkan bagaimana mengasihi pasangan kita dengan kasih yang tulus.  Warisan terbaik yang bisa kita berikan untuk mereka bukanlah uang yang berlimpah, tapi bagaimana kita memberikan mereka teladan kasih dan menunjukkan kepada mereka bagaimana cara mengasihi yang benar.  Karena itulah yang akan menjadi bekal yang akan mereka bawa masuk ke dalam dunia pernikahan mereka.

Apakah kasih ada batasnya?  Saya rasa, kasih yang benar tidak ada batasnya.  Karena kasih seharusnya tanpa "syarat dan ketentuan berlaku".  Kasih adalah sebuah keputusan.  Keputusan untuk tetap melakukan yang sama walaupun disakiti berkali-kali.  Mungkin terlihat bodoh, konyol, dan sia-sia.  Namun sesungguhnya, orang yang bisa mengasihi pasangannya sedalam itu, adalah orang yang mengerti, bahwa dirinya juga sebenarnya tidak pantas menerima kasih Tuhan dalam hidupnya.  Hanya orang yang sadar bahwa dirinya dikasihilah yang bisa mengasihi orang lain sedalam itu.

Orang yang mungkin menyebalkan yang selalu Anda lihat setiap hari di rumah, adalah orang yang Tuhan berikan untuk Anda kasihi, sama seperti Tuhan sudah mengasihi Anda tanpa syarat.  Kalau Tuhan saja mengasihi dia (yang paling tau belangnya daripada Anda sendiri), apa hak Anda untuk tidak menerima dan mengerti dia apa adanya?



Marriage is not a place to "stand up for your rights".  Marriage is a decision to serve the other, wheter in bed or out.
1 Corithians 7:4 MSG