Suatu kali, di tengah rutinitas dan kesibukan aktivitas saya, saya
mengeluh dan berpikir dalam hati, “Ah, untuk apa semua ini? Kalau pada
akhirnya saya mati? Untuk apa saya hidup, sibuk dengan segala
pekerjaan, berusaha meraih kesuksesan, jika pada akhirnya saya hanya
akan terdidur di sebuah kotak peti mati berukuran 1X2 meter?”
Lebih jauh lagi saya berpikir, mengapa saya harus ada di dunia ini,
kalau toh pada akhirnya mati juga? Mengapa saya harus mengalami segala
macam masalah, untuk berusaha saya selesaikan, namun kemudian semua itu
takkan ada gunanya?
Pertanyaan itu begitu mengganggu saya selama bertahun-tahun hingga pada akhirnya saya menemukan jawabannya.
Sore itu, sepulang kerja, saya mampir ke sebuah cafe langganan saya. Di
sana saya selalu menghabiskan waktu sepulang kerja bersama teman-teman
kantor, hingga jalanan mulai sepi setelah jam pulang kantor berakhir.
Kali ini saya hanya datang sendiri.
“Mana yang lain?”, tanya seorang pelayan yang selalu melayani kami
ketika kami datang ke cafe itu. “Sudah pada pulang.”, jawabku sambil
menjatuhkan diri ke sofa empuk biasa kami duduk. “Mau cappucinno lagi?
Atau mau coba menu baru kita?”, dia menawarkan buku menunya untukku.
Karena sudah sering datang ke sana, saya sudah hafal semua menu nya.
“Apa?”, tanyaku lumayan tertarik. Dia membuka halaman pertama buku
menu, lalu menyodorkannya padaku, “Black Sweet Tea.”. “Kaya apa
rasanya?” Dia hanya tersenyum, “Mas bakal tau sendiri kalo Mas nyoba.
Gimana Mas? Saya rasa Mas pasti suka!”. “Boleh deh.”, aku terima
tantangannya. “Oke, tunggu 15 menit ya Mas.”, lalu dia menghilang dari
pandanganku.
Dari tempat aku duduk, aku bisa melihat keadaan jalanan yang masih
semerawut di luar sana. Langit sudah mulai gelap, ditambah awan mendung
yang menyelimuti langit, membuat aku semakin enggan untuk cepat pulang.
Lebih baik aku di sini sejenak, melepas lelah sepulang kerja, melupakan
semua masalah yang membebani kepalaku.
Namun tak secepat itu aku dapat melupakannya. Kembali aku teringat pada
masalah di kantor, di rumah, tentang masa depanku.... Ah.. semuanya
begitu rumit dan membuatku pusing. Mungkin secangkir teh yang tadi aku
pesan dapat membantuku menghilangkannya sementara dari kepalaku.
Tak lama, pesanan minumanku datang. Pelayan tadi menyuguhkan menu baru
rekomendasinya di hadapanku, “Silakan.”, katanya. Dan dia berdiri di
sebelahku, sampai aku menyentuh cangkir itu, meneguknya, dan merasakan
rasanya. Penasaran mungkin.
Aku menyeruput tegukan pertama. Hmm.. rasanya...... entahlah.. Unik.
Spontan, mimik mukaku berubah. “Gimana, Mas?”, tanya pelayan itu,
tertarik. “Lumayan...”, entah kenapa itu yang keluar dari bibirku, “Ini
dibuat dari apa aja?” “Jadi itu teh yang kita racik sendiri, trus
dikasih simple syrop, lalu kita campur kopi pahit. Kira-kira begitu,
Mas.” Aku mengangguk saja pura-pura mengerti. “Kenapa Mas yakin saya
bakal suka?”, tanyaku heran.
Lalu dia menjelaskan, “Wah.. saya juga kurang ngerti, Mas. Tapi ga tau
kenapa, saya pengen Mas coba minuman lain selain yang selalu Mas pesen
di sini. Dan ga tau kenapa juga, saya begitu yakin Mas bakal suka.” Aku
mengangguk lagi. Aneh juga. Memang sih, rasanya unik. Seperti minum teh
manis dicampur kopi tubruk. Tapi entah kenapa, ada sensasi lain saat
aku meminumnya. Percampuran yang bertolak belakang, antara manis dan
pahit, ternyata bisa berkolaborasi menjadi sebuah perpaduan rasa yang
unik sekaligus enak.
“Yang bikin menu ini pernah bilang ke saya kaya gini, Mas : Akhirnya
aku bisa bikin sebuah minuman yang aku banget. Minuman ini seperti
sebuah kehidupan. Ada manis, dan ada pahit. Ketika pahit itu hilang,
yang ada hanya manis yang terlalu giung, namun ketika manis itu hilang,
tak ada lagi semangat untuk tetap hidup dan mencari rasa manis itu.”
“Saya juga kurang ngerti maksudnya, Mas. Dia emang suka berfilosofi.
Tapi ya mungkin ada benernya juga ya, Mas. Hidup ini, ga pernah lepas
dari masalah, begitu menurut saya, Mas.” Aku mengangguk lagi. Namun
kali ini, aku merenungkan perkataannya tadi.
“Eh, maaf Mas, saya mau melayani tamu yang lain. Saya tinggal dulu ya, Mas. Permisi.”, dia pamit. “Oh, iya, silakan.”
Hmm... Benar juga. Tanpa masalah, apalah artinya hidup. Semuanya
baik-baik saja, tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Untuk apa hidup
ini. Namun jika masalah seperti datang tak berhenti dalam hidup ini,
rasanya seperti ingin mengakhiri hidup ini secepatnya.
Tapi, pada akhirnya, saya masih hidup sampai hari ini. Masalah-masalah
yang dulu saya anggap tak ada jalan keluarnya, akhirnya terpecahkan,
dan saya telah melewatinya. Lalu, jika demikian, mengapa saya harus
mengeluh ketika ia datang?
No comments:
Post a Comment