Search

2.3.11

Di Balik Keegoisan Anak-anak

 
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”
1 Petrus 5:7


Seorang anak kecil di depan saya sedang merengek-rengek pada ibu nya minta dibelikan mainan yang dia inginkan waktu saya sedang mengantri hendak membayar barang belanjaan saya di kasir sebuah toko perbelanjaan.  Anak kecil itu menarik-narik tas ibu nya sambil merengek-rengek untuk menarik perhatian sang Ibu.  Dia berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan mainan itu.  Namun si Ibu menolak karena harganya yang lumayan mahal dan saya pikir mungkin ada keperluan dan kebutuhan lain yang harus dia penuhi daripada mainan itu.  Walaupun begitu, ia terus merengek-rengek tidak mau tahu, yang penting ia mendapatkan mainan itu.

Saya berpikir, mengapa anak kecil begitu egois.  Saya mengerti apa yang Ibu ini pikirkan.  Mungkin masih banyak keperluan yang lebih penting, bukan karena si Ibu kejam tidak mau membelikannya untuk anaknya.  Namun saya mengerti mengapa anak itu begitu seolah-olah egois hanya memikirkan keinginannya.  Saya pun pernah menjadi anak-anak sehingga saya mengerti.
Waktu saya masih kecil, saya menghabiskan waktu saya setiap hari dengan begitu bahagia.  Lari ke sana kemari, bermain dengan teman-teman, dan meminta ini dan itu.  anak-anak tidak pernah bertanya apa yang akan saya kerjakan besok, apakah uang sekolah saya bulan ini sudah dibayar atau belum, apa saya punya uang untuk jajan di sekolah besok, dan lain sebagainya.  Ia tidak pernah kuatir akan hari esok, karena ia tau bahwa orang tuanya selalu menjaganya dan menjamin kehidupannya.

Di balik keegoisan mereka, saya belajar sesuatu yang sangat berharga.  Seharusnya, status kita sebagai anak-nya Tuhan membuat kita percaya akan tangan pemeliharaan Bapa kita di surga.  Namun seringkali kekuatiran kita mendominasi kehidupan kita sehingga kita takut untuk melangkah dan menghadapi masa depan.  Kekuatiran memang wajar pernah dialami setiap manusia, karena ia tidak pernah tahu apa yang terjadi akan hari esok.  Namun sikap selanjutnya lebih penting, apakah kita tetap menyimpan kekuatiran itu dalam pikiran kita dan membuat kekuatiran kita itu berkembang sehingga kita takut mengambil resiko dan mengambil peluang dan kesempatan?  Ataukah kita menyimpan kekuatiran tersebut dalam tangan Tuhan dan belajar memercayaiNya seperti janda Sarfat yang percaya bahwa minyak dalam buli-bulinya tidak akan pernah habis.  

Hidup dalam kekuatiran memiliki banyak efek yang negatif: menjadi pesimis dalam hidup, takut mengambil resiko maupun peluang yang ada, selalu mengeluh dan tidak pernah mengucap syukur.  Mari belajar menjadi janda Sarfat yang percaya sepenuhnya kepada Tuhan, bahwa hidupnya dan seisi keluarganya dipelihara oleh Tuhan.  Mari belajar mengucap syukur untuk setiap pencapaian keuangan yang bahkan sebenarnya belum kita capai. Mengucap syukur adalah bukti iman percaya kita kepada Allah.  Ketika mengucap syukur dalam segala keadaan, kita sedang mendeklarasikan Allah berdaulat atas hidup kita apapun keadaannya.

1 comment: