“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara
kamu.”
1 Petrus 5:7
Seorang anak kecil di depan saya sedang merengek-rengek pada
ibu nya minta dibelikan mainan yang dia inginkan waktu saya sedang mengantri
hendak membayar barang belanjaan saya di kasir sebuah toko perbelanjaan. Anak kecil itu menarik-narik tas ibu nya
sambil merengek-rengek untuk menarik perhatian sang Ibu. Dia berusaha melakukan segala cara untuk
mendapatkan mainan itu. Namun si Ibu
menolak karena harganya yang lumayan mahal dan saya pikir mungkin ada keperluan
dan kebutuhan lain yang harus dia penuhi daripada mainan itu. Walaupun begitu, ia terus merengek-rengek
tidak mau tahu, yang penting ia mendapatkan mainan itu.
Saya berpikir, mengapa anak kecil begitu egois. Saya mengerti apa yang Ibu ini pikirkan. Mungkin masih banyak keperluan yang lebih
penting, bukan karena si Ibu kejam tidak mau membelikannya untuk anaknya. Namun saya mengerti mengapa anak itu begitu
seolah-olah egois hanya memikirkan keinginannya. Saya pun pernah menjadi anak-anak sehingga
saya mengerti.
Waktu saya masih kecil, saya menghabiskan waktu saya setiap
hari dengan begitu bahagia. Lari ke sana
kemari, bermain dengan teman-teman, dan meminta ini dan itu. anak-anak tidak pernah bertanya apa yang akan
saya kerjakan besok, apakah uang sekolah saya bulan ini sudah dibayar atau
belum, apa saya punya uang untuk jajan di sekolah besok, dan lain
sebagainya. Ia tidak pernah kuatir akan
hari esok, karena ia tau bahwa orang tuanya selalu menjaganya dan menjamin
kehidupannya.
Di balik keegoisan mereka, saya belajar sesuatu yang sangat
berharga. Seharusnya, status kita
sebagai anak-nya Tuhan membuat kita percaya akan tangan pemeliharaan Bapa kita
di surga. Namun seringkali kekuatiran
kita mendominasi kehidupan kita sehingga kita takut untuk melangkah dan
menghadapi masa depan. Kekuatiran memang
wajar pernah dialami setiap manusia, karena ia tidak pernah tahu apa yang
terjadi akan hari esok. Namun sikap
selanjutnya lebih penting, apakah kita tetap menyimpan kekuatiran itu dalam
pikiran kita dan membuat kekuatiran kita itu berkembang sehingga kita takut
mengambil resiko dan mengambil peluang dan kesempatan? Ataukah kita menyimpan kekuatiran tersebut
dalam tangan Tuhan dan belajar memercayaiNya seperti janda Sarfat yang percaya
bahwa minyak dalam buli-bulinya tidak akan pernah habis.
Hidup dalam kekuatiran memiliki banyak efek yang negatif:
menjadi pesimis dalam hidup, takut mengambil resiko maupun peluang yang ada,
selalu mengeluh dan tidak pernah mengucap syukur. Mari belajar menjadi janda Sarfat yang
percaya sepenuhnya kepada Tuhan, bahwa hidupnya dan seisi keluarganya
dipelihara oleh Tuhan. Mari belajar
mengucap syukur untuk setiap pencapaian keuangan yang bahkan sebenarnya belum
kita capai. Mengucap syukur adalah bukti iman percaya kita kepada Allah. Ketika mengucap syukur dalam segala keadaan,
kita sedang mendeklarasikan Allah berdaulat atas hidup kita apapun keadaannya.
Good ce :)
ReplyDelete