Search

10.3.11

Love, First.

“Sekalipun aku mempunyai karunia (roh)…., tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.”
1 Kor 13: 2

Dalam tim kerja saya di kantor, dapat ditemukan berbagai macam tipe orang yang berbeda-beda. Ada yang bertempramen keras, ada yang berkemampuan sosialisasi cukup tinggi, ada yang memiliki kemampuan negosiasi cukup baik, ada pula yang sangat fokus dengan apa yang dikerjakannya. Seringkali terjadi perbedaan pendapat di antara kami karena perbedaan dan kekurangan yang kami miliki. Namun ketika kami belajar menerima dan mengasihi keberadaan tim kami dengan segala kekurangannya, kami saling melengkapi sehingga kami bisa menyelasaikan setiap project yang kami tangani.

Dalam suratnya kepada jemaat Korintus, Paulus pun memberikan ilustrasi yang hampir serupa mengenai karunia Roh yang berbeda-beda. Tidak ada satupun yang dapat menganggap yang lain lebih penting atau kurang penting dari dirinya, karena mereka saling melengkapi.

Jika kita perhatikan pasal 12, Paulus memberikan ilustrasi dan menyebutkan macam-macam karunia yang ada. Sementara di pasal 13, Paulus sengaja “menyelipkan” nilai-nilai tentang kasih di antaranya, baru kemudian di pasal 14 berjudul, “Sekali lagi tentang karunia Roh”. Satu hal yang dapat kita pelajari di sini adalah, karunia Roh adalah karunia yang Tuhan berikan (berbeda-beda) kepada setiap orang yang ditujukan untuk membangun jemaat (14:4). Jadi karunia Roh bukanlah untuk kepentingan dan kehebatan kita sendiri, tapi untuk memperlengkapi kita melayani orang lain. Jadi untuk memperoleh karunia Roh, di mana dengan kata lain untuk melayani orang lain dengan karunia Roh kita, kita pertama-tama haruslah memiliki belas KASIHan terhadap orang lain. (13:1) Apa akibatnya jika kita tidak memiliki kasih dalam hati kita? Akhirnya karunia Roh itu hanyalah kita gunakan untuk kepentingan kita sendiri , menganggap karunia yang kita miliki lebih “hebat” dari orang lain, dan kita tidak menganggap karunia tersebut sebagai pemberian Tuhan yang istimewa, di mana ada tanggung jawab kita kepada Tuhan di dalamnya. Jadi, bagaimana cara untuk mengobarkan karunia Roh dalam hidup kita? Tidaklah lain adalah dengan terus mengobarkan kasih dalam hati kita, seperti yang tercatat dalam 1Kor 14:4-8.

Tim Inti atau Tim Cadangan?


“Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.”

1 Kor 12”: 7

Pernah melihat pertandingan sepak bola di televisi? Ketika sebuah tim bermain, tim tersebut terbagi menjadi dua: tim inti dan tim cadangan. Tim inti diberikan kepercayaan untuk bermain terlebih dahulu dalam sebuah babak pertandingan. Namun apakah ini berarti tim cadangan tidak memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pertandingan tersebut? Tentu tidak. Bayangkan sebuah tim bermain tanpa tim cadangan. Ketika ada salah seorang pemain cedera, formasi tim menjadi tidak lengkap, dan ini merupakan titik lemah yang akan terus menerus diincar lawan.

Ketika kita mendapatkan karunia Roh dari Tuhan, ada satu hal yang kita ingat: bahwa “kemampuan” yang kita dapatkan tersebut bisa suatu saat Tuhan ambil daripada kita, ketika kita sudah tidak lagi memakai karunia itu dengan baik sesuai dengan yang Tuhan inginkan. Oleh karena itu, ketika Tuhan masih memercayakan karunia itu kepada kita, marilah kita pergunakan karunia itu dengan baik. Bukan untuk kepentingan dan kehebatan kita sendiri, namun untuk membangun jemaat atau orang lain.

Karunia Roh adalah suatu karunia yang Tuhan berikan kepada setiap kita secara gratis dan Cuma-Cuma, namun tidak semurah dan serendah itu karunia yang Tuhan berikan. Pernahkah kita berpikir, untuk apa Tuhan memberikan karunia-karunia Roh yang kita miliki dalam hidup kita? Tidakkah Tuhan memiliki sebuah tujuan khusus? Setiap karunia yang Tuhan taruh dalam hidup kita adalah sesuai dengan rencana dan kehendak Tuhan atas kehidupan kita, yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Mari kita memakai setiap pemberian Tuhan tersebut dengan baik, karena kita tidak selamanya ada dalam pertandingan. Mungkin ada kalanya kita harus “rela” ketika Tuhan “memindahkan” karunia itu ke dalam hidup orang lain ketika kita tidak memakainya sesuai dengan tujuan Tuhan.

2.3.11

Di Balik Keegoisan Anak-anak

 
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”
1 Petrus 5:7


Seorang anak kecil di depan saya sedang merengek-rengek pada ibu nya minta dibelikan mainan yang dia inginkan waktu saya sedang mengantri hendak membayar barang belanjaan saya di kasir sebuah toko perbelanjaan.  Anak kecil itu menarik-narik tas ibu nya sambil merengek-rengek untuk menarik perhatian sang Ibu.  Dia berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan mainan itu.  Namun si Ibu menolak karena harganya yang lumayan mahal dan saya pikir mungkin ada keperluan dan kebutuhan lain yang harus dia penuhi daripada mainan itu.  Walaupun begitu, ia terus merengek-rengek tidak mau tahu, yang penting ia mendapatkan mainan itu.

Saya berpikir, mengapa anak kecil begitu egois.  Saya mengerti apa yang Ibu ini pikirkan.  Mungkin masih banyak keperluan yang lebih penting, bukan karena si Ibu kejam tidak mau membelikannya untuk anaknya.  Namun saya mengerti mengapa anak itu begitu seolah-olah egois hanya memikirkan keinginannya.  Saya pun pernah menjadi anak-anak sehingga saya mengerti.
Waktu saya masih kecil, saya menghabiskan waktu saya setiap hari dengan begitu bahagia.  Lari ke sana kemari, bermain dengan teman-teman, dan meminta ini dan itu.  anak-anak tidak pernah bertanya apa yang akan saya kerjakan besok, apakah uang sekolah saya bulan ini sudah dibayar atau belum, apa saya punya uang untuk jajan di sekolah besok, dan lain sebagainya.  Ia tidak pernah kuatir akan hari esok, karena ia tau bahwa orang tuanya selalu menjaganya dan menjamin kehidupannya.

Di balik keegoisan mereka, saya belajar sesuatu yang sangat berharga.  Seharusnya, status kita sebagai anak-nya Tuhan membuat kita percaya akan tangan pemeliharaan Bapa kita di surga.  Namun seringkali kekuatiran kita mendominasi kehidupan kita sehingga kita takut untuk melangkah dan menghadapi masa depan.  Kekuatiran memang wajar pernah dialami setiap manusia, karena ia tidak pernah tahu apa yang terjadi akan hari esok.  Namun sikap selanjutnya lebih penting, apakah kita tetap menyimpan kekuatiran itu dalam pikiran kita dan membuat kekuatiran kita itu berkembang sehingga kita takut mengambil resiko dan mengambil peluang dan kesempatan?  Ataukah kita menyimpan kekuatiran tersebut dalam tangan Tuhan dan belajar memercayaiNya seperti janda Sarfat yang percaya bahwa minyak dalam buli-bulinya tidak akan pernah habis.  

Hidup dalam kekuatiran memiliki banyak efek yang negatif: menjadi pesimis dalam hidup, takut mengambil resiko maupun peluang yang ada, selalu mengeluh dan tidak pernah mengucap syukur.  Mari belajar menjadi janda Sarfat yang percaya sepenuhnya kepada Tuhan, bahwa hidupnya dan seisi keluarganya dipelihara oleh Tuhan.  Mari belajar mengucap syukur untuk setiap pencapaian keuangan yang bahkan sebenarnya belum kita capai. Mengucap syukur adalah bukti iman percaya kita kepada Allah.  Ketika mengucap syukur dalam segala keadaan, kita sedang mendeklarasikan Allah berdaulat atas hidup kita apapun keadaannya.