Search

15.11.09

Jatuh Cinta

“Kata mereka seorang kepada yang lain: "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" (Lukas 24:32)

Waktu saya mulai jatuh cinta terhadap pasangan saya, hidup saya sepertinya terasa lebih “hidup”. Saya bergairah mengerjakan setiap kegiatan saya, karena saya selalu memikirkan dia setiap saat. Itu menolong saya untuk tetap merasa dekat dengannya, walaupun saat itu saya sedang tidak bersama atau berada di dekat dia, karena saya selalu ‘melibatkan’ dia dalam setiap kegiatan yang saya lakukan. Saya selalu menunggu2 waktu di mana saya akan bertemu dengannya untuk ngobrol dan share tentang kehidupan kami masing-masing. Dalam perjalanannya, kami semakin mengenal satu sama lain, dan setiap hal yang terjadi dalam hubungan kami menjadi suatu pengalaman yang baru. Semua itu membuat saya bergairah karena ada sesuatu dari dalam diri saya yang mendorong saya untuk menjalani hidup dengan penuh semangat. Cinta.

Begitulah pula dengan kehidupan kita. Pernah melihat seseorang yang sepertinya selalu bersemangat untuk Tuhan tanpa kenal lelah? Mari kita lihat hidup Paulus. Apa yang membuat Paulus seperti itu? Ada sesuatu yang mendorong dia untuk selalu bergairah untuk Tuhan. Roh Kudus di dalam hatinya. Ia akan dengan bergairah menjalani kehidupannya karena semakin hari ia semakin mengenal kehendak Tuhan dalam hidupnya dan kehidupannya menjadi maksimal karena ia mengalami Tuhan dalam aktivitasnya sehari-hari.

Apa yang terjadi ketika Roh Kudus tinggal diam di dalam hati kita? Ia bukan hanya akan menolong kita, namun terlebih lagi, hidup kita akan penuh dengan urapan Allah, dan apapun yang kita lakukan tidak akan pernah menjadi sia-sia. Sahabat, apakah urapan Roh Allah masih ada dalam hidup kita hari-hari ini?

[X.T.C]

“...dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing... Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati,...” (Kisah Para Rasul 2:44-46)

Pernah melihat tanda tersebut (XTC) pada dinding tembok di pinggir-pinggir jalan? Geng ini adalah geng yang cukup terkenal di kota Bandung. Hal ini dapat dilihat dari tanda yang tertera di mana-mana: tembok pinggir jalan, tiang rumah, pagar besi, bahkan dinding tripleks pada warung-warung kecil. Dilihat dari sisi positifnya, ada yang menarik dari geng ini. Seorang teman bercerita, sebelum ia bertobat, ia adalah salah satu anggota yang tergabung dalam geng ini. Dan ia bercerita, betapa kompak dan solidernya mereka di antara sesama anggota geng ini. Loyalitas dan kebanggan menjadi anggota geng ini sangat tinggi. Sehingga bahkan, walaupun mereka tidak saling mengenal baik (karena jumlah anggota yang cukup banyak), mereka siap membantu ketika ada salah satu anggota dari mereka “diserang” oleh geng lainnya.

Cerita tersebut terkadang mengingatkan saya akan satu hal. Bagaimana dengan komunitas yang Tuhan percayakan dalam hidup kita? Apakah kita cukup peduli dengan mereka? Jangankan peduli. Bahkan, apakah kita tahu ketika ada salah satu anggota “keluarga” kita dalam komunitas sel sedang mengalami masalah, pergumulan, atau sakit penyakit?

XTC, yang seringkali dicap masyarakat sebagai sebuah komunitas yang destruktif dan tidak membangun, saja memiliki rasa kekeluargaan yang begitu dalam. Bagaimana dengan kita? Pernahkah kita selama ini mensyukuri komunitas sel yang telah Tuhan tetapkan untuk pertumbuhan iman, kerohanian, dan karakter kita?

Perhatikan cara hidup jemaat mula-mula. Mereka saling mengasihi dan peduli satu sama lain karena ada kasih Kristus dalam hidup mereka dan dalam komunitas tersebut. Mari nyatakan kasih Kristus dan ciptakan kasih persaudaraan antarteman seiman dan seperjuangan yang selama ini telah mendukung dan menguatkan kita untuk tetap bertumbuh di dalam pengenalan akan Tuhan, sehingga kasih Kristus bisa terwujud nyata dalam hidup kita.

Makna Natal

Setiap kali saya inget kata “Natal”, saya bersyukur lagi, bahwa Allah yang begitu besar, dengan semua kedaulatan dan kekuasaanNya, rela berubah wujud jadi manusia biasa dan lahir di sebuah kandang domba yang kotor dan bau. Saya diingetin lagi, untuk apa Ia “harus” turun ke dunia. Cuma buat nyelamatin kita loh, yang waktu itu malah blm lahir dan kenal siapa itu Tuhan, dan masih berdosa.

Tapi kita liat sekarang, makna Natal uda mulai di-blur-in sama liburan, pesta perayaan yang cenderung hedon(isme-red), diskon gede-gedean di toko-toko, baju baru, topi Santa, simbol-simbol sinterklaus , tradisi pohon natal beserta hiasan-hiasannya, dan kado-kado natal yang ditaro di bawahnya. Hei! Natal seharusnya lebih dari itu. Natal adalah waktu kita ngerenungin lagi, seberapa besar “hadiah” yang udah kita kasih buat Tuhan. Apa cuma dua jam setiap hari Minggu di gereja? Atau cuma pelayanan setiap minggu di gereja?

Tau ga, hadiah terindah yang bakal bikin Tuhan seneng banget itu apa? Hadiah itu berupa ego dan hak bebas kita untuk menentukan hidup dan masa depan kita sendiri. Akan jadi hadiah yang paling indah, ketika kita kasih masa depan dan sisa hidup kita untuk kemuliaanNya.

Saya inget, waktu kecil, kalo uda mau Natal, saya berdoa minta maenan baru, baju baru, dan barang-barang lain yang saya inginkan. Seringkali kita juga seperti itu. Kita minta keluarga kita diberkati, minta pasangan hidup, minta kesehatan, dll. Kita terlalu sering meminta sesuatu yang seharusnya ga perlu kita minta lagi, karena Tuhan pasti kasih itu buat kita, asal kita mau serahin seluruh hidup kita sama Dia.

So, ayo inget-inget lagi. Apakah hidup kita uda kita serahin SEPENUHNYA ke dalam tanganNya? Sepenuhnya berarti SELURUH aspek hidup kita. Itu termasuk rencana masa depan kita, uang kita, studi kita, keluarga kita, pasangan hidup kita, dan apapun yang kita anggap penting dalam hidup kita.

Guys, apa kado yang mau kamu kasih buat Tuhan taun ini? =)